Jumat, 12 Juni 2009

Kota Semarang dalam sejarah

Sejarah Kota PDF Print E-mail
Ditulis Oleh: Administrator semarang.go.id
Wednesday, 05 July 2006

SEMARANG, sebagai kota raya dan lbu kota Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang. Mulanya dari dataran lumpur,yang kemudian hari berkembang pesat menjadi lingkungan maju dan menampakkan diri sebagai kota yang penting. Sebagai kota besar, ia menyerap banyak pendatang. Mereka ini, kemudian mencari penghidupan dan menetap di Kota Semarang sampai akhir hayatnya. Lalu susul menyusul kehidupan generasi berikutnya. Di masa dulu, ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat Disuatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang.

Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II. Di bawah pimpinan Pandan Arang, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, juga bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 masehi dinobatkan menjadi Bupati yang pertama. Pada tanggal itu "secara adat dan politis berdirilah kota Semarang" . Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali, akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalekat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat. Sesudah Bupati Pandan Arang mengundurkan diri lalu diganti oleh Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586), kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1966-1670), Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701), Raden Maotoyudo atau Raden Summmgrat (1743-1751), Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadmienggolo (1751-1773), Surohadimenggolo IV (1773-?), Adipati Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?), Raden Tumenggung Surohadiningrat (?-1841), Putro Surohadimenggolo (1841-1855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), RTP Suryokusurno (1860-1887), RTP Reksodirjo (1887-1891), RMTA Purbaningrat (1891-?), Raden Cokrodipuro (?-1927), RM Soebiyono (1897-1927), RM Amin Suyitno (1927-1942), RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945), R. Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan, M. Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946, 1949 - 1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia) pada waktu Pemerintahan RIS yaitu pemerintahann federal diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949. Sesudah pengakuan kedaulatan dari Belanda, jabatan Bupati diserah terimakan kepada M. Sumardjito. Penggantinya adalah R. Oetoyo Koesoemo (1952-1956). Kedudukannya sebagai Bupati Semarang bukan lagi mengurusi kota melainkan mengurusi kawasan luar kota Semarang. Hal ini terjadi sebagai akibat perkembangnya Semarang sebagai Kota Praja.

Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang. Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945, pemerintahan daerah Kota Semarang belum dapat menjalankan tugasnya karena pendudukan Belanda. Tahun 1946 lnggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda.Ini terjadi pada tangga l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menaiigkap Mr. Imam Sudjahri, walikota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran Lima Hari. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Narnun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian diluar kota sampai dengan bulan Desember 1948. daerah pengungsian berpindah-pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R.Prawotosudibyo dan Mr Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. tanggal I April 1950 Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementrian Dalam Negeri di Yogyakarta. Beliau menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan. Sejak tahun 1945 para walikota yang memimpin kota besar Semarang yang kemudian menjadi Kota Praja dan akhirnya menjadi Kota Semarang adalah sebagai berikut :

1. Mr. Moch.lchsan

2. Mr. Koesoebiyono (1949 - 1 Juli 1951)

3. RM. Hadisoebeno Sosrowardoyo ( 1 Juli 1951 - 1 Januari 1958)

4. Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat ( 7Januari 1958 - 1 Januari 1960)

5. RM Soebagyono Tjondrokoesoemo ( 1 Januari 1961 - 26 April 1964)

6. Mr. Wuryanto ( 25 April 1964 - 1 September 1966)

7. Letkol. Soeparno ( 1 September 1966 - 6 Maret 1967)

8. Letkol. R.Warsito Soegiarto ( 6 Maret 1967 - 2 Januari 1973)

9. Kolonel Hadijanto ( 2Januari 1973 - 15 Januari 1980)

10. Kol. H. Imam Soeparto Tjakrajoeda SH ( 15 Januari 1980 - 19 Januari 1990)

11. Kolonel H.Soetrisno Suharto ( 19Januari 1990 - 19 Januari 2000)

12. H. Sukawi Sutarip SH. ( 19 Januari 2000 - sekarang )

Pertumbuhan Fisik

Secara garis besar pertumbuhan Kota Semarang telah mengalami berubahan - perubahan fisik dari tahun ketahun antara :

· Periode sebelum Dataran Alluvial terbentuk

· Periode Tahun 900 s/d 1500

· Periode Tahun 1500 s/d 1700

· Periode Tahun 1700 s/d 1906

· Periode Tahun 1906 s/d 1942

· Periode Tahun 1942 s/d 1976

Selasa, 09 Juni 2009

wah Jakarta... Biasa / Gimana ya..???

JAKARTA

Jakarta is the capital city of the Republic of Indonesia, a country composed of more than 13,000 islands with a population of over 180 million. Comprising more than 300 ethnic groups speaking 200 different languages, the Indonesia population exhibits marked diversity in its linguistic, culture, and religious traditions. As the Capital City, Jakarta is a melting pot of representatives from each of these ethnic groups. Jakarta is a special territory enjoying the status of a province, consisting of Greater Jakarta, covering of 637.44 square km area. Located on the northern coast of West Java, it is the center of government, commerce and industry and has an extensive communications network with the rest of the country and the outside world. Strategically positioned in the archipelago, the city is also the principal gateway to the rest of Indonesia. From the Capital City, sophisticated land, air, and sea transport is available to the rest of the country and beyond.

Jakarta is one of Indonesia's designated tourist areas. It is a gateway to other tourist destinations in Indonesia and is equipped with all the means of modern transportation by air, sea, rail, or by land. It has the largest and most modern airport in the country, the most important harbor in Indonesia and is well connected by rail of good roads to other destinations in Java, Sumatra, and Bali. As Indonesia's main gateway, Soekarno-Hatta International Airport serves a growing number of international airlines and domestic flights. Jakarta is a city of contrasts; the traditional and the modern, the rich and the poor, the sacral and the worldly, often stand side by side in this bustling metropolis. Even its population gathered from all those diverse ethnic and cultural groups, which compose Indonesia, are constantly juxtaposed present reminder of the national motto; Unity in Diversity.

Finding its origin in the small early 16th century harbor town of Sunda Kelapa, Jakarta's founding is thought to have taken place on June 22, 1527, when it was re-named Jayakarta, meaning Glorious Victory by the conquering Prince Fatahillah from neighboring Cirebon. The Dutch East Indies Company, which captured the town and destroyed it in 1619, changed its name into Batavia and made it the center for the expansion of their power in the East Indies. Shortly after the outbreak of World War II, Batavia fell into the hands of the invading Japanese forces that changed the name of the city into 'Jakarta' as a gesture aimed at winning the sympathy of the Indonesians. The name was retained after Indonesia achieved national independence after the war's end.
The ethnic of Jakarta called "Orang Betawi" speaks Betawi Malay, spoken as well in the surrounding towns such as Bekasi and Tangerang. Their language, Betawi Malay, has two variations: conventional Betawi Malay, spoken by elder people and bred in Jakarta, and modern Jakarta Malay, a slang form spoken by the younger generation and migrants.

Jakarta's architecture reflects to a large extent the influx of outside influences, which came and has remained in this vital seaport city. Taman Fatahillah Restoration Project, begun in the early 1970s has restored one of the oldest sections of Jakarta also known as Old Batavia to approximately its original state. The Old Portuguese Church and warehouse have been rehabilitated into living museums. The old Supreme Court building is now a museum of fine arts, which also houses part of the excellent Chinese porcelain collection of former Vice President Adam Malik. The old Town Hall has become the Jakarta Museum, displaying such rare items as Indonesia's old historical documents and Dutch period furniture. Its tower clock was once returned to England to be repaired under its lifetime guarantee, which up to now has already lasted hundreds of years.

In recent years, Jakarta has expanded its facilities for visitors with luxury hotels, fine restaurants, exciting nightlife and modern shopping centers. It contains many tourist attractions such as Taman Mini Indonesia Indah (Beautiful "Indonesia in Miniature" Park), restored colonial period buildings, island resorts in the Pula Seribu (Thousand Island), and an extensive beach recreation complex called Ancol. "Beautiful Indonesia in Miniature Park" popularly called TMII "Taman Mini Indonesia Indah", built to portray the variety of cultures found within the many islands contained in the Republic of Indonesia, this open-air museum comprises the many architectural forms of arts and traditions of all Indonesia provinces. It is proof of the country's motto of Unity in Diversity as well as Freedom of Religion depicted in the houses of worship built on the grounds.

Jakarta has preserved its past and is developing for the future. Skyscrapers in the center of the city are part of a new look. Modern luxury hotels today cater to the discriminating visitors. Transport within the city is plentiful. Jakarta is the center of the nation's industrial, political and cultural life. It is home to many of the country's finest research institutes, educational facilities, and cultural organizations. Jakarta is uniquely the seat of both the national as well as the regional government.

Over the last several decades, Jakarta has proudly developed into one of Asia's most prominent metropolitan centers. Today, Jakarta's skyline is covered by modern high rises. The many state-of-the-art shopping centers, recreation complexes and toll-roads have become hallmarks of the city. The quality of life and the general welfare of its inhabitants have improved considerably with the city's fast pace of development. Jakarta's cultural richness and dynamic growth contribute significantly to its growing importance as one of the world's leading capital cities.